Strategi Pengelolaan Risiko Iklim Menuju Pertanian Tangguh Iklim
Orasi Guru Besar Tetap
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB
Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSi.
Pemanasan global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim akan semakin sering dengan intensitas yang semakin meningkat. Apabila upaya mitigasi atau penurunan emisi tidak dilakukan maka dalam 20-30 tahun mendatang dampak perubahan iklim akan semakin parah dan upaya adaptasi yang harus dilakukan akan semakin besar dan semakin sulit untuk dikendalikan dan akan mengancam keberlanjutan pembangunan dan ketahanan pangan. Diperkirakan kerugian pada sektor pertanian akibat perubahan iklim apabila upaya mitigasi tidak berhasil dilakukan mencapai 6,33 milliar dolar AS dalam 50 tahun mendatang (Cline 2007). Saat ini kerugian akibat kejadian iklim ekstrim siklus 5 tahunan sudah mencapai 1 miliar dolar AS dan siklus 10 tahunan mencapai 3 miliar dolar AS. Pemanasan global akan memperpendek siklus bencana iklim. Siklus bencana yang 10 tahunan bisa menjadi 5 tahunan yang artinya kerugian yang ditimbulkan oleh siklus bencana 5 tahunan akan meningkat secara signifikan.
Besarnya bahaya perubahan iklim telah mendorong masyarakat dunia untuk secara bersama-sama mengatasi masalah ini dengan melahirkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement) dalam pertemuan para pihak penandatangan konvensi ke 21 (COP21) di Paris bulan November 2015. Target utama dari kesepatan Paris ialah menahan kenaikan suhu global di bawah 2oC dibanding dengan rata-rata suhu era pra-industri dan terus berupaya membatasi kenaikan suhu hanya sampai 1,5oC. Pada saat ini kenaikan suhu global sudah mencapai 1oC. Oleh karena itu, diharapkan tingkat emisi dunia harus diupayakan secepatnya menurun dan pada pertengahan abad ini tingkat emisi dan serapan gas rumah kaca sudah mencapai keseimbangan, yang artinya laju emisi bersih mendekati nol. Oleh karena itu semua negara di dunia harus berupaya mengembangkan pola pembangunan rendah emisi, pertumbuhan ekonomi tidak lagi diikuti dengan meningkatnya laju emisi. Penggunaan teknologi dan/atau praktek-praktek pembangunan rendah emisi harus dilakukan. Ban Ki Moon mantan Sekjen PBB menyatakan bahwa ’perubahan iklim merupakan satu satunya ancaman terbesar terhadap keberlanjutan masa depan kita, akan tetapi pada waktu yang bersamaan, upaya yang dilakukan untuk mengatasinya akan memberikan peluang emas untuk mendorong kesejahteraan, keamanan dan masa depan yang lebih cerah bagi semua (“Climate change is the single greatest threat to a sustainable future but, at the same time, addressing the climate challenge presents a golden opportunity to promote prosperity, security and a brighter future for all”).
Dampak dari kejadian iklim ekstrim di sektor pertanian Indonesia saat ini dirasakan semakin besar, tidak hanya disebabkan oleh intensitas kejadian iklim esktrim yang semakin meningkat tetapi juga karena tingkat kerentanan sektor ini semakin tinggi. Tingginya laju degradasi lahan dan kerusakan ekosistem hutan, khususnya di wilayah tangkapan, salah satu faktor utama yang menyebabkan sektor ini rentan. Dengan perubahan intensitas hujan yang sedikit saja sudah cukup menimbulkan bahaya banjir atau kekeringan meluas karena sudah semakin rendahnya kemampuan wilayah tangkapan hujan menahan air. Saat ini 108 DAS sudah dalam kondisi kritis. Kerusakan infrastruktur akibat kejadian iklim ekstrim juga cenderung meluas. Hampir semua sentra produksi padi di Jawa mengalami kerusakan jaringan irigasi cukup parah, rata-rata mendekati 50%, sehingga banyak sentra produksi padi rentan terhadap kekeringan dan banjir. Persoalan lain yang mengkhawatirkan ialah tingginya konversi lahan sawah untuk non-pertanian, khususnya di Jawa. Paling sedikit 50 ribu ha lahan sawah setiap tahun telah berubah fungsi karena terkonversi. Di pihak lain, perluasan areal pertanian di luar Jawa melalui pembukaan hutan juga berkontribusi pada kerusakan DAS, yang akan menambah kerentanan sektor pertanian terhadap berbagai ancaman akibat perubahan iklim.
Oleh karena itu, pengelolaan risiko iklim tidak bisa secara sektoral, tetapi harus terintegrasi dengan melibatkan banyak pihak dan lintas sektor. Risiko iklim tidak bisa dikelola hanya dengan mengatasi dampak kejadian iklim ekstrim dan pengembangan teknologi budidaya yang adaptif, tetapi juga harus memperbaiki faktor noniklim yang berkontribusi terhadap tingkat kerentanan sektor pertanian. Untuk itu paling tidak ada lima strategi yang harus dilakukan untuk membangun sistem pertanian tangguh iklim. Pertama mempercepat upaya konservasi dan restorasi ekosistem, khususnya wilayah tangkapan hujan sehingga dapat menjamin keberlanjutan layanan jasa lingkungan tata air bagi pertanian melalui pengaturan tata ruang dengan memperhatikan bentang alam (landscape). Kedua membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana pertanian yang climate proof, yaitu yang mempertimbangkan perubahan iklim. Tingkat risiko iklim suatu wilayah harus dijadikan pertimbangan dalam menentukan besar alokasi anggaran untuk pemeliharaan dan perbaikan sarana dan prasarana infrastuktur pertanian. Ketiga melakukan pencarian, pengembangan, dan penerapan sistem usahatani dengan teknologi budidaya yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim. Keempat mengembangkan berbagai kegiatan pilot proyek yang memberikan pembelajaran dan good practices serta mekanisme pelembagaannya sehingga adopsi dari pembelajaran tersebut dapat berjalan dengan cepat dan meluas dengan memanfaatkan dukungan internasional. Kelima meningkatkan kemampuan penyusunan kebijakan, rencana dan program pembangunan pertanian yang mengintegrasikan perubahan iklim dengan memanfaatkan hasil kajian ilmiah kerentanan, dampak dan risiko iklim.
Salah satu pembelajaran yang perlu dikembangkan di Indonesia dalam rangka menuju sistem pertanian tangguh iklim ialah penerapan sistem ’asuransi indeks iklim’. Sistem asuransi indek iklim diperkirakan selain melindungi petani dari risiko iklim yang semakin meningkat tetapi juga dapat mendorong dan mempercepat adopsi teknologi pertanian tangguh iklim. Di dalam sistem asuransi indek iklim ini, pembayaran pertangungan tidak lagi menggunakan kegagalan panen, tetapi menggunakan nilai indeks iklim. Nilai indek iklim ditetapkan dengan mempelajari hubungan kondisi iklim dan penurunan hasil atau kegagalan panen yang terjadi. Misalkan apabila dari data historis atau pengamatan lapangan menunjukkan bahwa apabila hujan selama musim tanam kurang dari 250 mm, biasanya tanaman mengalami kegagalan, maka nilai hujan 250 dijadikan sebagai indek iklim. Pembayaran pertangungan dilakukan apabila kondisi iklim telah memenuhi nilai indeks iklim tersebut yang diukur dari satelit atau alat pengukur di stasiun iklim yang mewakili wilayah dimana asuransi indeks diterapkan. Apabila ada varietas baru yang lebih adaptif kekeringan dicoba oleh petani yang sudah dilindungi asuransi, apabila kondisi iklim jelek atau nilai indek terpenuhi dan ternyata tanamannya tahan dan tetap memberikan hasil, maka petani akan dapat keuntungan ganda, yaitu baik dari tanamannya maupun pertangungan. Sistem asuransi indek iklim sudah mulai banyak diterapkan di negara berkembang seperti di Afrika, India dan beberapa negara lainnya.
Disadari bahwa faktor yang menghambat petani mengadopsi teknologi baru masalah tidak hanya ketidakpastian iklim, tetapi juga keterbatasan akses terhadap modal usahatani dan kekurangan tenaga pendamping penerapan teknologi. Oleh karena itu, penerapan asuransi indeks iklim perlu diintegrasikan dengan program akses pendanaan dan pendampingan teknologi. Keikutsertaan lembaga penyedia teknologi dalam memberikan pendampingan diperlukan untuk menjamin keberhasilan. Di Indonesia, penerapan program asuransi indeks iklim masih pada tahap uji coba. IPB saat ini sedang bekerja sama dengan berbagai institusi mengembangkan program asuransi indeks iklim di Indramayu melalui kemitraan berbasis teknologi dan akses pendanaan. Mitra yang terlibat ialah lembaga asuransi yaitu Asuransi Central Asia-ACA, lembaga keuangan mikro (BPR), perusahaan penyedia sarana produksi pertanian (Syngenta Indonesia), dan LSM (Syngenta Foundation) dan petani.
Lembaga asuransi menawarkan produk asuransi indeks iklim kepada Badan Perkreditan Rakyat (BPR), lembaga keuangan mikro yang memberikan pinjaman kepada petani. Lembaga asuransi dibantu oleh perguruan tinggi menyusun indeks iklim dan produk asuransi yang kemudian didaftarkan pada otoritas jasa keuangan (OJK). Polis asuransi yang dipegang BPR kemudian dikonversi menjadi sertifikat asuransi yang ditawarkan kepada petani di awal musim. Paket pinjaman yang diberikan BPR berupa voucher saprotan, uang tunai, sertifikat asuransi, dan pendampingan. Voucher dapat ditukarkan dengan saprotan dari lembaga penyedia teknologi pada retailer terpilih. Lembaga penyedia teknologi memberikan pendampingan bagi petani dalam menerapkan teknologi.
Published Date : 28-Feb-2017